Jumat, 12 Agustus 2016

Wayang . . . Opo Jare Dalang

Pendahuluan.
Kehidupan tiap manusia sejatinya sudah ada blueprint di lauh mahfuz. Nama ini dalam pewayangan dikenal dengan Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu yang betarti tulisan tanpa papan. Walaupun beda nama namun esensi dari keduanya sama.
Dalam pemahaman ini, kehidupan jagad raya beserta isinya telah ditulis, telah dibuat masterplan nya, telah dibuat breakdown lengkap berikut blueprint dari masing2 mahluk. Jadi itu persis semacam pusat data yg selalu merekam aktifitas tiap manusia yang berada di dalamnya.

Wayang.
Wayang dalam bahasa jawa berarti bayangan. Dalam pemahaman filsafat, bayangan dimaksud merupakan refleksi perilaku jiwa manusia atau pencerminan sifat-sifat manusia di kehidupan. Ada yang kasar, angkara murka, bijaksana, serakah dll.
Ada pemahaman bahwa manusia adalah wayang-wayang Tuhan yang di anugerahi perangkat akal, nafsu dan budi. Hakikatnya perangkat akal nafsu dan budi menjadi alat bantu manusia untuk menicapai kesempurnaan hidupnya. (Hanggayuh Kasampurnaning Urip). Akan tetapi justru ketiga perangkat tersebut yang menjadikan manusia gampang tergelincir, gampang tergoda bujuk rayu mulut manis lidah tak bertulang.
Anugerah yang harus dipertanggung jawabkan pemakaiannya kepada Tuhan.

Opo Jare Dalang.
Kalimat opo jare dalang dalam bahasa Jawa miliki makna multitafsir yang sebetulnya kurang pas jika diterjemahkan dengan apa kata dalang
Makna yang lebih mendalam dari opo jare, bisa dikatakan sebagai wujud kepasrahan manusia kepada sang Pencipta, bentuk pengakuan atas eksistensi kawula kepada Gustinya, penghambaan yang tulus kepada Tuhan.
Tentunya, sikap ini telah dilandasi pemahaman tauhid yang cukup sehingga tahu dan bisa merasakan di dalam hatinya bahwa hidup manusia akan selamat sampai ke tujuan jikalau mengikuti alur yang telah digariskan Tuhan. Ibarat rel kereta, maka hidupnya senantiasa selalu berada diatas rel yang telah dibuat Tuhan. Berjalan diluar rel berarti menyalahi ketentuan Tuhan. Dalam bahasa yang terang benderang berarti telah melakukan dosa terhadap Tuhan.

Wayang Opo Jare Dalang.
Tidaklah mudah sekaligus tidaklah sulit menjadikan diri kita sebagai wayang-wayang kehidupan yang taat dan patuh hanya kepada Sang Akarya Jagad. Sang penguasa alam semesta.

Menjadi wayang seperti dimaksudkan diatas sejatinya merupakan pencapaian spiritual manusia yang tertinggi dalam menyempurnakan tauhidnya. Hanggayuh Kasampurnaning Urip.

Menjadi wayang adalah berpasrah diri hanya kepada Tuhan.
Menjadi wayang adalah secara kaffah melakukan penghambaan kepada Tuhan. Senantiasa melakukan kebaikan, kebenaran. Ngudi Sejatining Becik. 
Menjadi wayang haruslah miliki sifat qona'ah.. Nrimo ing Pandum.

Menjadi wayang  harus pula miliki sifat satu kata dalam ucapan dan tindakan, Ber Budi Bawa Laksana.

Kesimpulan.
Siapapun hakikatnya memiliki kesempatan dan hak yang sama untuk mencapai kesempurnaan hidupnya.
Tuhan Allah swt juga telah berikan Al Qur'an sebagai pedoman hidup yang luar biasa canggih hingga akhir jaman.
Ketika manusia hidup, Tuhan tidak memaksa semua manusia agar taat dan patuh kepada NYA. Bagi yang taat serta ikhlas dalam menjalaninya Allah swt sediakan surga.

Menjadi Wayang opo jare Dalang, anda harus siap jiwa raga, teliti dan bijaksana (titi,setiti, nastiti lan wicaksana) saat diberi ujian Allah swt di dalam kehidupan.
Juga harus berani mematikan jiwa, rasa dan karsa kemanusiannya, menjadi layaknya wayang kulit yang siap masuk dalam kotak saat Sang Dalang tidak memainkan dalam pagelarannya. Karena pada hakikatnya, rasa dan karsa nya adalah rasa dan karsa Tuhan. Manusia hanyalah badan wadag kosong yang dipinjamkan kepada kita.

Demikian yang dapat disampaikan, lebih kurangnya mohon dimaafkan.

Tetep sehat
Tetep semangat dan
Tetep taat n patuh kpd Tuhan.

Jumat, 27 Maret 2015

Mimpi dalam Pemahaman "Lelaku"

Tujuan "lelaku" 
Dalam tradisi Jawa, lelaku atau laku tirakat mempunyai peranan penting bagi sosok pemuda dalam rangka membentuk jati diri agar mampu memahami nilai-nilai kehidupan. Memang tidak ada bukti empiris yang dapat disampaikan tentang "lelaku", namun sepanjang yang saya ketahui, di kalangan bangsawan umumnya para pangeran sudah "lelaku" serta mempelajari ritual kejawen semenjak "akil baligh" atau setelah "mimpi basah". Tujuannya untuk membentuk karakter bangsawan Jawa yang berkepribadian agar lebih memahami dengan mendalam adat istiadat, tata krama dan ilmu-ilmu spiritual Jawa yang turun temurun diajarkan kepada putra-putrinya demi melestarikan ajaran leluhur nan adhiluhung.   

Indikator penting didalam lelaku adalah kemampuan untuk mendapatkan "wangsit". Artinya, kemampuan memperoleh "wangsit"/petunjuk ghaib akan menunjukkan tingkat kepekaan yang bersangkutan, semakin peka seseorang akan semakin cepat untuk memahami dunia ghaib.
Kemampuan memahami wangsit ini menjadi krusial bagi para pelaku supranatural. Namun bukan hanya sekedar mendapatkan wangsitnya, juga dituntut memiliki kecerdasan spiritual yang nantinya bermanfaat untuk "membaca" petunjuk ghaib yang multi tafsir. 
Oleh karenanya, para spiritualis harus memiliki kemauan kuat untuk belajar dengan seksama agar mempu dengan baik dan benar memahami, mengerti dan bisa menerjemahkan petunjuk ghaib yang bakal diterimanya. 
Perlu diingat, sebelum "mumpuni"(menguasai betul), jangan sekali-kali memberikan wejangan kepada orang lain.

Wangsit atau Petunjuk Ghaib.

Sabtu, 07 September 2013

Yakin, Sabar dan Ikhlas (Triyoso)

Cerita Masa Kecil.
Masih nempel di ingatan, setiap 2-4 tahun, kami bisa dipastikan pindahan rumah. Bukan karena habis masa kontrak rumah, akan tetapi pada posisi jabatan Ayah, pada kurun waktu tertentu mendapatkan mutasi jabatan sehingga tempat tinggal kami juga mengikuti kemana ayah berpindah tugas. Beruntungnya kami, selalu berpindah tugas di wilayah kerja Provinsi Jawa Timur saja. Awal mutasi diawali dari kota Pasuruan tahun 1955 yaitu ketika Ayah mendapatkan kenaikan pangkat dan jabatan. Di kota ini, kedua kakak kami lahir. Demikian seterusnya dari Pasuruan ke Bondowoso, Pamekasan Sumenep Sampang, Tulungagung, Ngawi, Surabaya hingga Bojonegoro tahun 1981 saat menjelang pensiun. Ayah seperti anak merantau pulang kampung, karena dari Desa Ledok Wetan dan Kadipaten Kecamatan kota Bojonegoro inilah tempat cikal bakal leluhur kami dari garis keturunan ayah. Tahun 1984 Ayah pensiun dan menetap di Bojonegoro. 
Karena sering pindah kota maka kawan semasa kecilku campur-campur. Mereka ada di kota-kota itu, dari berbagai kalangan dan beragam status. Alhamdulillah, pertemanan saya baik-baik saja. Mungkin karena itulah saya menjadi mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, mudah menerima perbedaan dan berbagi dengan mereka. 

Berteman dengan anak pendiam, anak pejabat, anak pedagang, anak orang kaya atau anak orang gak punya, bahkan yang dikatakan "mbeling" (nakalnya bocah), bagiku sama saja. Syukurlah, pertemanan kami sampai sekarang baik-baik saja. Selain kawan sekolah, ada juga anak tetangga, teman yang kenal di warung kopi "protelon" desa. Atau teman yang kenal di bengkel motor, karena sama-sama punya hobi mengotak-atik motor, dsb.

Setelah dewasa, kami berpisah. Karena dulu belum ada handphone, jadi komunikasi diantara kami juga putus-nyambung. Sangat berbeda dengan jaman sekarang. Dengan adanya media sosial yang "uuaaakeh", memang berbeda jauh. Anak jaman sekarang, kelulusan baru 3 tahunan, sudah reunian. Andai dulu media sosial sudah ada seperti sekarang... temenku pasti banyak.   

Mendapat Petunjuk
Kira-kira setahun lalu, saya sedang menjalani "laku tirakat". Pada saat itu kami sedang mendalami ber-ihtiyar "ngangsu kawruh" berpasrah diri kepada Allah swt dengan memperbanyak sholat sunah dan mengucapkan subhanallah terus menerus di dalam hati  dzikir syirri

Baca selengkapnya »

Senin, 26 November 2012

Ihtiyar atau Nrimo ing Pandum

Pendahuluan.
Membandingkan dua kata tersebut diatas, antara ihtiyar dengan nrimo, terkesan seperti membandingkan antara bumi dengan langit. Tidak ada kesamaannya babar blas
Bahkan jika  dilihat dari sisi ekonomisnya. Yang satu, ihtiyar bermakna kata sebuah upaya, bekerja, berusaha, berjuang, ada semangat, ada kemauan diri, suatu upaya guna memperoleh “penghasilan".

Sedangkan kata nrimo, yang bermakna menerima, merupakan kebalikan dari ihtiyar. Sehingga kalimat nrimo ing pandum lebih dimaknai kepada kepasrahan, lemah, loyo, tidak bersemangat, tak berdaya. seperti tidak berusaha dan hanya menunggu apa adanya.

Dari artinya, sepintas memang dirasa kontradiktif, berlawanan. Berusaha dengan menerima, adalah dua hal yang berbeda.
Saya pernah menyarankan ke beberapa teman yang bertanya tentang bagaimana memperoleh rejeki yang halal dan baik agar menganut falsafah nrimo ing pandum, mereka malah skeptis, dan balik bertanya, "Mas, hari gini, nrimo ing pandum?.. gak kebagian kerjaan Mas"

Apa saya salah memahami ya (?). Katanya, Pola hidup ini dianggap usang, sudah tidak sesuai lagi dengan jaman kini yang serba cepat dan instan. 

Apa benar jika orang menuding bahwa pola hidup nrimo ing pandum dianggap sebagai pola hidupnya si pemalas yang inginnya punya banyak waktu luang untuk bersantai, gak kepengin maju.

Apa karena jamannya(?) dimasa kini orang lebih senang berihtiyar mengikuti arahan konsultan bisnis untuk ekspansi pasar membangun gurita bisnis. Pahamnya adalah "lebih banyak, lebih baik" (more is better).

Jika dibandingkan dengan nrimo ing pandum, memang seperti kebalikannya. Sehingga di Barat mulai muncul paham minimalis, less is better yang kurang lebihnya dianggap mirip nrimo ing pandum. Padahal sejatinya sangat berbeda. 

Lalu manakah yang seharusnya kita lakukan...

Hakikat Keinginan / Mimpi / Cita-cita

Perjalanan lelaku saya kali ini seputar pengalaman yang berkaitan dengan kehendak hati, "kekarepan", keinginan, impian atau cita-cita.

Sudah sewajarnya jika orang memiliki impian. Ibarat kata, impian itu seperti sebuah insting, natural alias alamiah. Tiap individu pastinya memilki naluri alami dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan impian-impiannya. Keinginan yang amat individualistik dan tentu saja beragam serta berjenjang tergantung pada strata sosial dimana mereka berada.

Era Reformasi.
Pada era ini, dengan kondisi sosial masyarakat seperti ini, impian mereka saya gambarkan seperti seekor ikan yang hendak dipancing. Pada ujung kail diberi umpan uenak dari cacing sampai umpan "oplosan" ramuan roti, susu, keju hingga ikanpun sulit menolak umpan yang ditawarkan. 
Bayangkan, diiming-iming umpan selezat itu.. tanpa ba bi bu, si ikan pasti sudah menyangkutkan dirinya sendiri di kail.


Sialnya, dengan bertambah majunya jaman dalam keriuhan liberalisasi dan kapitalisasi di negara tercinta, orang akan semakin sulit meredam godaan ketika semua media sebagai sentral industri periklanan memborbardir masyarakat dengan berbagai tawaran-tawaran. Masyarakat disuguhi iklan macem-macem, disuruh beli. Kalau finansialnya kurang, ditawari kredit. Mau apa saja sekarang bisa.
  
Mudah-mudahan anda bukan termasuk tipe orang yang mudah terpancing tawaran kredit. Karena jika anda tidak hati-hati dalam pengelolaannya, bisa-bisa aset ikut melayang.