Rabu, 11 Mei 2011

Pasrah Diri

Seri Cerita Perjalanan 2.

Pada cerita perjalanan seri kedua ini, saya masih ingin bercerita tentang kota Yogyakarta pada medio Juni 2006, paska diguncang gempa pada akhir bulan lalu. Kali ini, saya bertemu dengan rombongan Kerohanian Sapta Dharma Bekasi yang dipimpin oleh Mas Haryono di Kantor Pusat KSD Yogyakarta. Kedatangannya kali ini dalam rangka misi kemanusiaan, yakni melihat ke lokasi rumah para warga KSD yang menjadi korban gempa bumi di daerah Bantul, Kulon Progo dan Sleman. Serta menyampaikan titipan santunan berupa bantuan biaya hidup dan biaya perbaikan rumah .

Sebagai relawan kemanusiaan, saya bisa belajar dan melihat dari para korban, walaupun masih trauma, umumnya warga yang dikunjungi menyambut hangat kedatangan rombongan kami. Warga KSD di Bantul ini sungguh tabah. Seolah tidak menghiraukan derita yang dialaminya, warga disana menjamu kami dengan makan bersama-sama, nasi tumpeng urap-urap, tahu, tempe, seadanya tapi nikmat.

Sungguh kesan yang mendalam dan lagi-lagi muncul pertanyaan dalam hati tentang hikmah kejadian disini: “Yogyakarta, kenapa gempa bumi mengguncang wilayahmu. Adakah makna yang tersirat dari peristiwa ini?”


Sampai beberapa hari di Yogya, saya tidak menemukan jawabannya. Berarti koleksi pertanyaan tak terjawab nambah lagi, menjejali dalam hati. Tapi saya tetap yakin suatu saat nanti semuanya pasti terjawab.

Hari sudah mulai gelap ketika rombongan kami kembali ke hotel tempat kami menginap. Badan yang tak direbahkan seharian, baru terasa capeknya setelah dimandikan dengan air hangat. Terlelap sebentar kemudian terbangun dengan kondisi yang agak seger, me-review pengalaman berkunjung tadi. Saya keluar kamar, duduk di serambi, menyulut rokok, mengulum asapnya dalam-dalam.

Perjalanan kali ini waktunya agak longgar, karena tidak ada skedul “sanggaran” (istilah meditasi ber-kelompok di KSD). Sehingga waktu luang ini saya manfaatkan untuk melakukan “ening” (atau hning, penyatuan rasa), mencoba merenung, merangkai hikmah yang saya dapatkan hari ini. Dalam ening, muncul entah darimana datangnya, pertanyaan yang cukup mendasar:

Apakah ini bisa menjawab problematika yang terjadi didalam kehidupanku?”
Apakah ini jalan hidup yang kuinginkan?”
Apakah ini jalan hidup yang benar?”.

Akhirnya saya tergerak untuk melakukan evaluasi total terhadap perjalanan hidup yang lalu hingga perjalanan malam ini, di Yogyakarta. Evaluasi terhadap beberapa aspek perjalanan yang sekiranya “sudah tidak berguna” dibuang; yang sekiranya baik bagi kehidupan pribadi, keluarga maupun anak dan istri, dipertahankan. Yang terpenting adalah me-evaluasi bagaimana caranya menata kehidupan mereka di masa mendatang.

Hari-hari di Yogyakarta telah berlalu, kami akhirnya berpisah untuk pulang kerumah masing-masing. Sedangkan saya, pulang ke Jombang sambil membawa oleh-oleh pertanyaan tak terjawab, yang setibanya dirumah nanti menjadi PR untuk di-urai satu persatu, dipilah-pilah menurut urutan kepentingannya. Pada ujungnya nanti  akan mengerucut pada pokok permasalahan sesungguhnya. Terhadap hal ini, saya yakin, siapapun ia didalam kehidupan nyata pasti mengharapkan keselamatan di dunia dan di akhirat kelak.

Dari titik inilah saya berpikir, saya ingat betul kata para ustadz, jika ingin selamat dunia akhirat, kita harus menjalani hidup ini sesuai dengan ajaran Islam dan berpedoman kepada Al Qur'an, hadits serta ijma' para ulama.

Tapi bagaimana caranya menjalani kehidupan sesuai Al Qur'an itu?
Sebagai pemuda muslim, sewaktu masa remaja, saya menjadi pengurus mushola, saya juga mengikuti PAI (Pengajian Agama Islam), belajar membaca Al Qur'an, mengikuti pengkajian Al Qur'an dan Hadits bersama teman sesama mahasiswa waktu itu, kemudian berusaha memahami Al Qur'an untuk diterapkan sebagai pedoman hidup. Namun sejauh itu, saya belum bisa menemukan “rasa” yang mendalam. Saya malahan merasa nyaman dengan menerapkan budi pekerti, tata krama Jawa yang diajarkan oleh Ibu dirumah.

Hal ini mengingatkan pada peristiwa yang terjadi di Minggu pagi tanggal 26 Desember 2004 di bumi serambi Mekah, Provinsi Nangro Aceh Darussalam dihantam tsunami. Apakah yang terjadi? Bukankah warga disana sudah menerapkan syariat Islam menjadi hukum yang berlaku di wilayah sana dan diterapkan didalam kehidupan sehari-hari. Mengapa Allah swt menimpakan bencana kepada kaum yang sudah menjalankan perintah NYA. Mengapa bisa terjadi? Sejatinya apakah pesan yang tersirat dari peristiwa tsunami Aceh itu?

Pengertian saya sederhana, merujuk kepada kisah para nabi bersama kaum-kaumnya. Allah swt selalu menurunkan azab kepada kaum yang mendustakan-NYA. Dimanapun dan siapapun ia tidak akan bisa lari dari azab NYA.

Begitulah, satu-satu terurai dan menggumpal dalam pertanyaan tak terjawab. Menimbulkan satu opini, bahwa apabila seseorang tertimpa musibah atau masalah, walaupun merasa berada di posisi yang benar, bisa dipastikan bahwa orang itu  mempunyai kesalahan terhadap Allah swt.
Andaikata telah benar apa yang dijalaninya, ia pasti akan terlindungi, hidupnya selalu terjaga, akan dijauhkan dari segala macam musibah dan masalah baik di dunia ini hingga di akhirat kelak.

Dari perenungan itu, saya merasakan bahwa pasti punya kesalahan kepada NYA, sehingga saya mendapat beban permasalahan dalam kehidupan ini. Tapi sebenarnya apa kesalahan saya?
Saya ambil wudhu, saya kembali melakukan sholat 5 waktu, saya kerjakan sholat malam dan entah mengapa saya tidak berdoa untuk mohon ampunan NYA, saya lebih banyak berdoa untuk pasrahkan hidup kepada NYA, meng ikhlaskan hidup saya untuk dikembalikan ke pangkuan NYA:
Ya Allah, aku merasa ada tugas dari MU yang harus dikerjakan, tapi aku tidak tahu pekerjaan apa. Jika aku sudah tidak KAU perlukan lagi, matikanlah aku. Lebih baik aku mati daripada menjalani hidup dalam ketidak tahuan dan ketidak pastian. Jika memang aku masih KAU perlukan, mohon tunjukkanlah jalanMU.”

Itulah puncak dari kegelisahan pergolakan batin pada akhir Juni 2006. Waktu itu saya memutuskan untuk kembali menjalani ajaran syariat Islam seperti ketika masih remaja dulu. Begitulah, berselang sepekan setelah pasrahkan hidup kepada NYA, rupanya Allah menjawab permohonan saya pada tanggal 4 Juli 2006 jam 10:00 di Pare Kediri, oleh teman saya dipertemukan dengan seseorang, yang menceritakan kepada saya tentang rahasia-rahasia kehidupan, hakikat hidup, hakikat hati, sangkan paraning dumadi kesengsaraan hidup, dll. Dan akhirul kalamnya, saat itu juga saya pasrah dan minta dibimbing menemukan hakikat kehidupan yang berada di jalan NYA. 
Ihdinash shirratal mustaqiim, shirratal ladziina an'amta allaihim.


Tetep sehat, tetep semangat dan selalu taat.

Tidak ada komentar: