Selasa, 10 Mei 2011

Awal Melangkah

Cerita ini terjadi pada periode akhir bulan Mei 2006 sampai bulan Juli 2006 hingga bertemu dengan seseorang yang memberi “pencerahan” . Kemudian melakukan tirakat, mengikuti apa yang disyaratkan Sang Pembimbing dengan pasrah diri kepada NYA, yakin dan ikhlas dalam menjalaninya sebagai langkah penebusan kesalahan yang telah dilakukan.
Agar bisa memahami jalan ceritanya dengan jelas, maka dibuatlah berseri serta penyampaian materi yang mewakili kejadian pada saat itu.
Semoga bermanfaat.


Seri Cerita Perjalanan 1.
Siapapun anda, suatu ketika pasti mengalami titik balik, titik dimana seseorang mengalami perubahan pola hidup dari kehidupannya yang lampau. Perubahannya sangat mendasar, sehingga sangat sulit untuk dianalisis dengan nalar. Sungguhpun demikian, kita harus menghormati pilihan seseorang untuk menjalani kehidupan yang lebih baik di mata Tuhan.


Masih jelas tergambar dalam ingatan saya, bulan Mei minggu terakhir 2006, ketika saya berkesempatan mengunjungi Sleman Yogyakarta mengikuti ritus kegiatan Kerohanian Sapta Darma (KSD, salah satu aliran kepercayaan di Indonesia, berkantor pusat di Yogyakarta), mulai hari rabu, 24 Mei s/d hari jumat, 26 Mei 2006. Saya datang bersama rekan-rekan senior dari KSD Bekasi yang datang bersama rombongan kecil, 6 orang. Acara selesai Jumat sore, rombongan KSD Bekasi langsung check out ke Jakarta, sedangkan saya masih enggan balik ke jawa timur, karena harus memenuhi janji tidur dirumah kakak.

Sabtu, 27 Mei 2006 jam 06:00 wib, saya masih terlelap diatas kasur ketika badan terguncang dan terbangun mendengar suara angin bergemuruh, lampu gantung bergoyang kencang, dinding rumah bergoyang kekiri-kekanan, terdengar suara barang pecah, guci, kaca, gelas; Sungguh suasana gegap-gempita memecahkan kesunyian pagi. Orang-orang berhamburan keluar rumah sambil berteriak “gempa..gempa.. gempa..”. Ada yang lari pontang-panting dalam kepanikan sambil mendekap si balita erat-erat. Juga terdengar takbir, Allahu akbar.. Allahu akbar... Allahu akbar !!!

Seperempat jam paska gempa, saya memandangi rumah-rumah disekitar yang rata-rata gentingya berjatuhan, saya duduk di teras yang masih utuh karena beratap beton, diam dalam keheningan, merenungkan gempa yang tiba-tiba datang... hati ini trenyuh, hati ini tergetar melihat kenyataan banyak orang yang ketakutan setengah mati seakan hidupnya tinggal sejengkal lagi. Betapa sedihnya jika merasakan bahwa mereka serasa begitu jauh dengan Yang Maha Kuasa. Seolah hidup ini hidup sendiri tidak ada kehadiran Yang Maha Kuasa, sebagai yang mengatur hidup. Beberapa saat kemudian saya sadari betapa rapuhnya jiwa seorang anak manusia ketika keimanan yang tidak utuh dihadapkan pada sang maut. Subhanallah.

Sebenarnya saya orangnya sangat logik, sesuai dengan basic keilmuan saya teknik sipil, jadi wajar kalau saya menyukai sesuatu yang pasti-pasti. So, saya juga bukan type orang yang biasa menghayalkan sesuatu yang tidak riil. Kebiasaan orang teknik sipil adalah membayangkan bentuk fisik bangunan yang sedang dilaksanakan atau yang sedang dalam proses perencanaan.
Akan tetapi saat melihat langsung kejadian diatas, rasa hatipun bisa menerawang jauh, mencoba mengurai makna hakikinya dan berusaha meyakini bahwa peristiwa ini bukanlah sebuah peristiwa yang kebetulan terjadi. Allah swt pasti punya rencana tertentu agar saya melihat langsung untuk memahami “sesuatu” dari kejadian di pagi hari tadi.

Pada saat itu, saya baru mampu meyakini bahwa di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulan. Semua telah diatur oleh-NYA, semua mahluk hidup yang terdapat di alam semesta hakikatnya adalah dikehendaki dan diperjalankan  oleh-NYA.

Tetep sehat, tetap semangat dan selalu taat.
Terima kasih.


Tidak ada komentar: